jika tidak ada silahkan cari disini

Proses Masuknya Islam Di Pulau Bawean


Masuknya Agama Islam Menurut catatan sejarah yang berkembang selama ini, agama Islam masuk ke Bawean pada awal abad ke-16.
MASIH ADA SINAR MENTARI
Judul di atas adalah arti dari sebuah kata, yang berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu Bawean. Menurut legenda, sekitar tahun 1350 M sekelompok pelaut dari Kerajaan Majapahit terjebak badai di Lautan Jawa, terombang-ambing selama beberapa hari, sampai akhirnya, mereka terdampar di sebuah pulau, tepat pada saat matahari terbit, pulau itulah yang kini dikenal sebagai pulau Bawean.
Bawean adalah sebuah pulau yang terletak di Laut Jawa, sekitar 150 kilometer sebelah utara Pulau Jawa. Diameter Pulau Bawean kira-kira 12 kilometer dan jalan yang melingkari pulau ini kira-kira panjangnya 70 km dan bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Secara administratif, termasuk dalam wilayah Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur. Memiliki dua kota kecamatan terkemuka yaitu Sangkapura dan Tambak. Menurut Jacob Vredenbregt dalam Bawean dan Islam, sampai tahun 1743, Pulau Bawean berada di bawah kekuasaan Madura dengan raja Madura yang terakhir, Tjakraningrat IV dari Bangkalan. Pada masa itu, VOC yang menduduki pulau tersebut, berkuasa melalui seorang prefet (kepala departemen). Di masa pemerintahan Inggris, pulau Bawean menjadi keasistenresidenan di bawah Surabaya. Kemudian digabung dengan afdeling Gresik dibawah seorang kontrolir. Lalu sejak 1920 sampai 1965 berubah menjadi kawedanan. Sejak 1965 pulau ini kemudian diperintah oleh dua camat dibawah pimpinan bupati Surabaya.Memang belum ada survey yang lebih mendetail, namun diperkirakan jumlah penduduknya sekitar 70.000 jiwa, kebanyakan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan atau petani selain juga menjadi TKI di Singapura atau Malaysia. Etnis mayoritas penduduk Bawean adalah Suku Bawean (Boyan), diikuti oleh Suku Jawa, Madura dan suku-suku lain misalnya Bugis dan Mandailing. Bahasa pertuturan sehari-harinya adalah bahasa Bawean (boyan). Bukannya bahasa Madura seperti yang dimaklumkan sebelum ini. Suku Madura adalah suku pendatang di kepulauan Bawean.
Bawean memiliki atraksi pariwisata yang cukup menawan, terutama pantai-pantainya. Barisan pegunungannya juga tak kalah asri dan menarik, syahdan, ada sekitar 99 nama gunung di Bawean, mirip dengan jumlah Asmaulhusna. Ada juga sebuah danau yang terletak tepat di tengah-tengah pulau bernama Danau Kastoba. Alhamdulillah, fasilitasnya sekarang agak lebih mending dibandingkan dulu. Selain itu, pulau-pulau kecil lainnya juga tidak kalah menarik untuk di kunjungi. Contohnya Pulau Gili, Pulau Noko, atau Pulau Cena. Untuk ke pulau-pulau tersebut, pengunjung dapat menyewa perahu-perahu milik warga, dengan harga yang sepadan.

Di Bawean terdapat pula spesies rusa yang di dunia ini hanya ditemukan di Bawean, Bahasa Latin spesies ini adalah Axis Kuhli. Selain itu di pulau Bawean juga ditanam manggis, salak, buah merah, dan durian yang dikonsumsi oleh penduduknya. Puluhan spesies ikan laut juga terdapat di pantai pulau ini. Yang khas dari Bawean adalah batu onyx. Sejenis batu marmer. Batu ini dijadikan hiasan dan juga lantai. Selain itu juga ada “buah merah”. Ini berbeda dengan buah merah asli papua. Bentuknya bulat seperti apel. Memang ada yang seperti ini di Magetan tapi warnanya agak kuning.

Potret Budaya
Di Singapura, penyebutan Bawean berubah menjadi Boyan. Sehingga kalau ada orang yang hendak berkunjung ke kampung Bawean, mereka akan mengatakan “awak nak pegi kampong Boyan.” Seperti yang disebutkan oleh Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si. dalam desertasinya –Orang Boyan Bawean: Perubahan Lokal dalam Transformasi Global—bahwa, Orang Bawean dikenal dengan dua sebutan yaitu orang Bawean atau orang Boyan. Sebutan orang Boyan biasanya digunakan di negara tujuan merantau (Singapura dan Malaysia), sedangkan sebutan orang Bawean dipakai di Pulau Bawean dan di wilayah Indonesia. Tidak ada sejarah tertulis yang menyebutkan asal-usul sebutan Boyan itu. Namun, ada yang mengungkapkan, sebutan itu muncul karena salah ucap, terutama orang Eropa dan Cina yang dulu mempekerjakan mereka di Singapura dan Malaysia.
Ada juga yang menyebut Bawean sebagai Pulau Putri, alasannya, karena banyak laki-laki muda yang merantau ke Pulau Jawa atau ke luar negeri. Logikanya begini, kalau para lelaki atau pemudanya banyak yang merantau ke luar negeri, berarti yang tersisa di pulau hanyalah para perempuan. Meski demikian, jangan pernah dibayangkan, jika ditinggal suaminya merantau para istri yang tidak terpenuhi kebutuhan batinnya tentu memiliki peluang untuk berselingkuh. Faktanya, perselingkuhan di Pulau Bawean sangat jarang terjadi. Kalaupun ada, hanya terjadi di daerah pelosok atau pegunungan bukan di daerah perkotaan. Jarangnya perselingkuhan ternyata karena adanya kontrol sosial dalam bentuk ‘gunjingan’ yang masih cukup kuat pengaruhnya. Perempuan yang ketahuan berselingkuh akan dibicarakan dan disampaikan dari mulut ke mulut oleh para tetangganya hingga yang bersangkutan merasa malu dan risih. Selain itu, orang Bawean juga dikenal gemar merantau. Komersialisasi kegiatan merantau ini dimulai ketika Bawean disinggahi kapal laut dari kongsi milik orang Cina yang dikelola oleh bangsawan Kemas dari Palembang. Kemas Haji Djamaludin bin Kemas yang ingin mengembangkan daya angkut kapalnya, meminjamkan modal kepada orang Bawean yang hendak merantau. Mereka membayar kembali pinjamannya setelah tiba di tempat tujuan dan telah memiliki pekerjaan. Sistem ini menarik banyak penduduk Bawean untuk merantau sehingga kapal yang sebelumnya mengangkut penumpang dan barang, berubah menjadi kapal penumpang. (Drajat Tri Kartono, 2004)

Masuknya Agama Islam
Menurut catatan sejarah yang berkembang selama ini, agama Islam masuk ke Bawean pada awal abad ke-16. Sumber catatan sejarah lainnya menyebutkan bahwa sebelum menetap di Pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim seorang ulama Islam asal Turki–pakar di bidang tata hukum pemerintahan—mab’uts atau utusan dari kekhilafahan Utsmaniyah sempat singgah terlebih dahulu di Pulau Bawean. Disebutkan kalau peristiwa ini terjadi sebelum abad ke-13 masehi. Catatan sejarah mana yang lebih benar, semoga saja akan segera terungkap.
Adalah Sayyid Maulana Umar Mas’ud¹–-salah seorang ulama dari garis keturunan Sunan Ampel—yang telah mengemban dakwah islamiyah ke Pulau Bawean. Dan berkat jasanya, agama Islam tersebar hingga ke seluruh pelosok Bawean. Sayyid Maulana Umar Mas’ud demikian gigih dalam memperjuangkan Islam, walaupun harus menghadapi pergulatan sosial yang sangat pelik dan beragam, nyatanya, beliau mampu menuntaskan secara gemilang, semua persoalan dan tantangan tersebut. Islam adalah warisan berharga yang telah berhasil dipersembahkan oleh Sayyid Maulana Umar Mas’ud, dengan pencapaian yang menakjubkan, laksana kisah Mush’ab bin Umair, duta dakwah Islam pertama yang diutus Rasulullah ke Madinah. Sehingga kiranya, tak seorangpun dapat menatap wajah Bawean di setiap seluk, lorong, dan penjurunya, kecuali Islam berkumandang di sana. Zaman telah beralih dan berganti wajah, era generasi awal sampai trah ke tujuh telah berlalu, Namun namanya tetap saja menebarkan keharuman yang seakan tak pernah pupus. Makamnya hingga kini menjadi tempat tujuan bagi para peziarah, baik dekat maupun jauh.
Dalam kisah legenda² dituliskan bahwa Sayyid Maulana Umar Mas’ud, berhasil mengalahkan Raja Babiliono yang kafir dan ahli sihir. Kisah perang tanding mereka digambarkan, tak ubahnya seperti kisah pertarungan antara Aji Saka dan Raja Kanibal, atau antara Arjuna dan Kresna dalam Bharatayudha yang bersifat heroik dan banyak dipenuhi dengan bumbu magis dan daya linuwih lainnya, terlepas dari percaya atau tidak.
Secara politis, pasca kekalahan Raja Babiliono, otomatis peran sentral kekuasaan sepenuhnya di kendalikan oleh Sayyid Maulana Umar Mas’ud. Dalam tataran kehidupan umum, wajar saja kalau orang menganggap bahwa aturan yang diterapkan untuk mengatur kehidupan rakyat kala itu adalah aturan kehidupan Islam (syariat).
Semoga di era ini, lahir Umar Mas’ud, Umar Mas’ud baru yang mampu meneruskan perjuangan menghidupkan kembali Islam, tidak hanya di bumi Bawean tetapi di seantero jagat. Islam rahmatan lil ’alamin. Waallahu a’lam bish showaab.

0 Comments:

Post a Comment